Cerpen Sekolah
Selamat datang di blog aku.
Indahnya Persahabatan
Betapa enak menjadi orang kaya.
Semua serba ada. Segala keinginan terpenuhi. Karena semua tersedia. Seperti
Tyas. Ia anak konglomerat. Berangkat dan pulang sekolah selalu diantar mobil
mewah dengan supir pribadi.
Meskipun demikian ia tidaklah
sombong. Juga sikap orang tuanya. Mereka sangat ramah. Mereka tidak pilih-pilih
dalam soal bergaul. Seperti pada kawan kawan Tyas yang datang ke rumahnya.
Mereka menyambut seolah keluarga. Sehingga kawan-kawan banyak yang betah kalau
main di rumah Tyas.
Tyas sebenarnya mempunyai sahabat
setia. Namanya Dwi. Rumahnya masih satu kelurahan dengan rumah Tyas. Hanya beda
RT. Namun, sudah hampir dua minggu Dwi tidak main ke rumah Tyas.
“Ke mana, ya,Ma, Dwi. Lama tidak
muncul. Biasanya tiap hari ia tidak pernah absen. Selalu datang.”
“Mungkin sakit!” jawab Mama.
“Ih, iya, siapa tahu, ya, Ma? Kalau
begitu nanti sore aku ingin menengoknya!” katanya bersemangat
Sudah tiga kali pintu rumah Dwi
diketuk Tyas. Tapi lama tak ada yang membuka. Kemudian Tyas menanyakan ke
tetangga sebelah rumah Dwi. Ia mendapat keterangan bahwa Dwi sudah dua minggu
ikut orang tuanya pulang ke desa. Menurut kabar, bapak Dwi di-PHK dari
pekerjaannya. Rencananya mereka akan menjadi petani saja. Meskipun akhirnya
mengorbankan kepentingan Dwi. Terpaksa Dwi tidak bisa melanjutkan sekolah lagi.
“Oh, kasihan Dwi,” ucapnya dalam
hati,
Di rumah, Tyas tampak melamun. Ia
memikirkan nasib sahabatnya itu. Setiap pulang sekolah ia selalu murung.
“Ada apa, Yas? Kamu seperti tampak
lesu. Tidak seperti biasa. Kalau pulang sekolah selalu tegar dan ceria!” Papa
menegur
“Dwi, Pa.”
“Memangnya kenapa dengan sahabatmu
itu. Sakitkah ia?” Tyas menggeleng.
“Lantas!” Papa penasaran ingin tahu.
“Dwi sekarang sudah pindah rumah.
Kata tetangganya ia ikut orang tuanya pulang ke desa. Kabarnya bapaknya di-PHK.
Mereka katanya ingin menjadi petani saja”.
Papa menatap wajah Tyas tampak
tertegun seperti kurang percaya dengan omongan Tyas.
“Kalau Papa tidak percaya, Tanya,
deh, ke Pak RT atau ke tetangga sebelah!” ujarnya.
“Lalu apa rencana kamu?”
“Aku harap Papa bisa menolong Dwi!”
“Maksudmu?”
“Saya ingin Dwi bisa berkumpul
kembali dengan aku!” Tyas memohon dengan agak mendesak.
“Baiklah kalau begitu. Tapi, kamu
harus mencari alamat Dwi di desa itu!” kata Papa.
Dua hari kemudian Tyas baru berhasil
memperoleh alamat rumah Dwi di desa. Ia merasa senang. Ini karena berkat
pertolongan pemilik rumah yang pernah dikontrak keluarga Dwi. Kemudian Tyas
bersama Papa datang ke rumah Dwi. Namun lokasi rumahnya masih masuk ke dalam. Bisa
di tempuh dengan jalan kaki dua kilometer. Kedatangan kami disambut orang tua
Dwi dan Dwi sendiri. Betapa gembira hati Dwi ketika bertemu dengan Tyas. Mereka
berpelukan cukup lama untuk melepas rasa rindu. Semula Dwi agak kaget dengan
kedatangan Tyas secara mendadak. Soalnya ia tidak memberi tahu lebih dulu kalau
Tyas ingin berkunjung ke rumah Dwi di desa.
“Sorry, ya, Yas. Aku tak sempat
memberi tahu kamu!”
“Ah, tidak apa-apa. Yang penting aku
merasa gembira. Karena kita bisa berjumpa kembali!”
Setelah omong-omong cukup lama, Papa
menjelaskan tujuan kedatangannya kepada orang tua Dwi. Ternyata orang tua Dwi
tidak keberatan, dan menyerahkan segala keputusan kepada Dwi sendiri.
“Begini, Wi, kedatangan kami kemari,
ingin mengajak kamu agar mau ikut kami ke Surabaya. Kami menganggap kamu itu
sudah seperti keluarga kami sendiri. Gimana Wi, apakah kamu mau?” Tanya Papa.
“Soal sekolah kamu,” lanjut Papa,
“kamu tak usah khawatir. Segala biaya pendidikan kamu saya yang akan
menanggung.”
“Baiklah kalau memang Bapak dan Tyas
menghendaki demikian, saya bersedia. Saya mengucapkan banyak terima kasih atas
kebaikan Bapak yang mau membantu saya.”
Kemudian Tyas bangkit dari tempat
duduk lalu mendekat memeluk Dwi. Tampak mata Tyas berkaca-kaca. Karena merasa
bahagia.Akhirnya mereka dapat berkumpul kembali. Ternyata mereka adalah sahabat
sejati yang tak terpisahkan. Kini Dwi tinggal di rumah Tyas. Sementara orang
tuanya tetap di desa. Selain mengerjakan sawah, mereka juga merawat nenek Dwi
yang sudah tua.
Unsur Instrinsik :
• Tema : Persahabatan
• Tokoh : Tyas, Dwi, Papa Tyas, Dan
Mama Tyas
• Watak :
· Tyas : Suka Menolong
· Dwi : Tidak Mau Membebani Orang Lain
· Papa Tyas : Baik Hati
· Mama Tyas : Peduli
• Alur : Maju
• Latar :
Tempat
· Rumah Dwi (Lama)
· Rumah Tyas
· Rumah Dwi (Di Desa).
Waktu
·
Siang Hari
Suasana : Mengharukan
• Sudut pandang : Orang Pertama
• Amanat : Sebagai makluk tuhan kita
harus saling tolong menolong Dan Berbagi kepada sesama
TAKDIR
Gerimis tak berhenti juga, ditambah dengan Tari yang sejak
pulang dari sekolah tadi tak keluar-keluar dari kamarnya. Padahal jam dinding
hadiah dari temannya sudah menunjukkan pukul 17.15. Itu berarti adzan magrib
semakin dekat.
Tari kembali melirik buku bututnya. Aduh! Susahnya, ia
membanting napas kesal isi buku yang dibacanya dari tadi belum masuk juga ke
otaknya. Karena capek, ia selonjoran di kasur bunga mawarnya itu. Tapi ia malah
teringat oleh mantannya. Ditariknya foto tu dari dompetnya. Huh, seandainya!
Adu, dia melulu. Malas ah!
Ia sekejap langsung menyembunyikan benda kenangannya dengan
Audra itu di dompetnya. “Bodohnya aku!” Cewek berambut panjang hitam itu
mengeluh, namun penyesalan yang menginjak-nginjak batinnya nggak pergi-pergi
juga. “Iih”, Tari menggumam. “Kenapa aku dulu menyia-nyiakannya,ya? Ga dewasa,
kurang bersyukur? Atau, dia yang terlalu seperti anak kecil?”
Kenangan itu masih tertempel di otak Tari, saat sosok yang
dikenangnya itu memberikan surat kepadanya. Surat yang isinya mengajak Tari
putus dengannya. Memang sosok Audra yang seperti anak kecil, pemalu, pintar,
berkulit cokelat, wajahnya yang bersih, dan bertubuh tinggi itu bukan termasuk
tipe Tari. Tapi ia sulit untuk memutuskan putus atau tidak pada saat itu.
Selama ini semenjak putus dengan Audra, ia sering berkhayal, berkhayal
seandainya ia bisa lebih berpikir dewasa lagi. Namun yang sudah terjadi tidak
bisa kembali lagi.
Daripada ia teringat dengan kekerasan bapaknya, ia mending
terlintas kenangannya dengan Audra.:”Plak!!” Batin Tari tergoncang, tamparan
bapaknya ke bundanya itu sampai menggerakkan gendang telinganya.” Bapak, Bapak!
Cukup!” Tari berlari menangis. Tak heran kalau Tari terkadang berdiam diri di
kelasnya. Wajah gelisahnya membuat dirinya penuh dengan misteri. Tapi
sesungguhnya ia termasuk perempuan sabar dan kuat karena ia dapat bertahan
dengan kondisin keluarga seperti itu.
Tet tet tet! Bunyi bel sekolah Tari berdenting, yang
menandakan jam istirahat telah usai. Namun Tari masih tetap duduk terenung di bangkunya
sampai Yanti sobatnya itu membangunkannya dari lamunannya.
“Tar!”
“Ei, kowe kok ngelamun aja toh?”
“Iya nih, lagi pusing aku.”
“Ooo, makanya kowe kok nggak sholat dhuha, biasanya kowekan rajin gitu.”
“He, itu itu Audra!” Yanti menyoel-nyoel Tari. Paan sih! Kalau kamu suka dia jangan kayak gini dong! Alah yang suka aku apa kowe, Ihiir!! Yanti menyindir sobatnya itu.
“Tar!”
“Ei, kowe kok ngelamun aja toh?”
“Iya nih, lagi pusing aku.”
“Ooo, makanya kowe kok nggak sholat dhuha, biasanya kowekan rajin gitu.”
“He, itu itu Audra!” Yanti menyoel-nyoel Tari. Paan sih! Kalau kamu suka dia jangan kayak gini dong! Alah yang suka aku apa kowe, Ihiir!! Yanti menyindir sobatnya itu.
Tapi dengan kelucuan sahabatnya itu, akhirnya Tari dapat
tersenyum yang sejak kemarin ia terus menangis dan bersedih karena bapaknya itu
menampar bundanya yang tak sengaja mengingatkan bapaknya untuk tidak merokok
dan pulang malam. Yan, aku tuh udah putus dengannya! Tari menyela sobatnya
denan menahan ketawa sebab melihat wajah Yanti yang berekspresi kayak “Aming”
komedian itu.
Tentu saja Tari nggak akan mengatakan ke Yanti kalau ia
sedang sedih dan menangisi takdirnya. Batas bercerita tetap ada. Dan Tari tak
ingin sobatnya itu bersedih lantaran kehidupannya yang menyedihkan.
Dan siang itu meskipun Tari mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia,
tapi pikirannya masih melayang kemana-mana. Seandainya Audra masih menjadi
kekasihku! pasti masalahku akan reda dengan adanya dirinya. Huh malangnya
nasibku. Eiiiiihh!! Teriakannya membuat sekelas gaduh dan kaget. Ini berawal
dari Bejo yang menepuk bahu Tari.
“Tar, hihihihi, ngelamun aja, kesambet lo entar!” Bejo
pura-pura tak ngerti kesalahannya. Padahal gara-gara dia Tari dipanggil ke
depan oleh Bu Tartik, guru paling killer di sekolah.
“Tari! Maju ke depan.”
“Oh, My God!”
“Bilang apa kamu tadi ?”
“Ndak Bu, ndak!”
“Tari! Maju ke depan.”
“Oh, My God!”
“Bilang apa kamu tadi ?”
“Ndak Bu, ndak!”
Semua teman Tari tertawa sambil menahan ketawa karena tak
ingin Bu Tartik mendengar ketawa mereka, namun tidak dengan Yanti dan Audra.
Mereka terlihat sedang berpikir sesuatu.
“Ono opo ya ma Tari ?”
“Iya ya, ada apa dengan Tari, apa gara-gara aku ?”
“Iya ya, ada apa dengan Tari, apa gara-gara aku ?”
Teman sebangku Yanti dan yang tak lain adalah Audra
mencetuskan kata-kata seperti itu. Dan membuat Yanti terkejut dan berpikir apa
sebenarnya mereka berdua masih saling suka.
Tapi…………
Di lain posisi, Bu Tartik memarahi Tari abis-abisan.
Tapi…………
Di lain posisi, Bu Tartik memarahi Tari abis-abisan.
“Tariiiii, kamu itu! Kalau kamu tidak ingin mengikuti
pelajaran saya. Kamu jangan menganggu pelajaran Ibu!” muka Tari yang memerah
membuat dirinya tampak habis makan 100 cabe merah keriting yang biasa
dilihatnya di dapur ketika ia memasak dengan bundanya.
Tet tet tet tet tet tet…………
Tet tet tet tet tet tet…………
Untung penderitaan Tari berhenti juga, bel sekolah yang
memengakkan telinga itu menyelamatkan hidupnya hari ini. Tak hanya Tari,
teman-temannya juga terselamatkan. Karena mereka ingin sekali tak mengikuti
pelajaran ini. Tapi begitu melihat Bu Tartik, akhirnya mereka mengikutinya.
“Duduk kamu! Ketua kelas pimpin doa!”
“Iya Bu.” Tari dan ketua kelasnya menyahut bersama. Setelah Bu Tartik keluar dari kelas, Yanti dengan tas merah stroberinya itu langsung menyambar Tari. Tar kowe kenapa?
“Iya, kamu kenapa ?”
“Iya Bu.” Tari dan ketua kelasnya menyahut bersama. Setelah Bu Tartik keluar dari kelas, Yanti dengan tas merah stroberinya itu langsung menyambar Tari. Tar kowe kenapa?
“Iya, kamu kenapa ?”
Oh My God, Audra! Tari yang semula cemberut langsung
bersinar-sinar ketika Audra menghampiri dan perhatian kepadanya.
“Aku nggak apa-apa kok Dra! Aku cuma cuma……..”
“Cuma ngelamunin kamu Dra.” Bejo menyela perkataan Tari namun Yanti membela sobatnya.
“Bejo! kowe ojo ngono.”
“Nggak nggak, aku lagi pusing aja, kamu nggak pulang Dra ?” Tari mengalihkan suasana dan itu berhasil.
“Ya uda, aku pulang dulu ya.” Audra melirik Tari dengan senyumnya yang bisa membuat Tari mabuk kepayang. Bejo pun mengikutinya dari belakang.
“Tar, kowe bener-bener pusing ta ?”
“Ehmm, nggak sih, aku tadi lagi mikirin Audra tapi gara-gara Bejo tukang usil itu, aku jadi dicereweti Bu Tartik deh.”
“Ooo, emang kowe tuh!”
“Eeemang!!!” Tari menggoda sobatnya itu dan merangkulnya agar Yanti segera pulang dengannya. Lalu mereka harus masih menunggu kendaraan warna biru berlabelkan “AMG”(Arjosari-Gadang) itu.
“Aku nggak apa-apa kok Dra! Aku cuma cuma……..”
“Cuma ngelamunin kamu Dra.” Bejo menyela perkataan Tari namun Yanti membela sobatnya.
“Bejo! kowe ojo ngono.”
“Nggak nggak, aku lagi pusing aja, kamu nggak pulang Dra ?” Tari mengalihkan suasana dan itu berhasil.
“Ya uda, aku pulang dulu ya.” Audra melirik Tari dengan senyumnya yang bisa membuat Tari mabuk kepayang. Bejo pun mengikutinya dari belakang.
“Tar, kowe bener-bener pusing ta ?”
“Ehmm, nggak sih, aku tadi lagi mikirin Audra tapi gara-gara Bejo tukang usil itu, aku jadi dicereweti Bu Tartik deh.”
“Ooo, emang kowe tuh!”
“Eeemang!!!” Tari menggoda sobatnya itu dan merangkulnya agar Yanti segera pulang dengannya. Lalu mereka harus masih menunggu kendaraan warna biru berlabelkan “AMG”(Arjosari-Gadang) itu.
Jam 7 malam …………
Bapak sedang menonton TV dan bapak memanggil Tari. Tak biasanya bapak mau bicara dengan Tari. Tari, sini!Bapak mau ngomong. Besok akan ada keluarga teman Bapak yang mau melamarmu, jadi besok kamu harus langsung pulang setelah jam sekolah selesai.
“Tapi Pak, saya masih sekolah, masak mau dilamar.”
Bapak sedang menonton TV dan bapak memanggil Tari. Tak biasanya bapak mau bicara dengan Tari. Tari, sini!Bapak mau ngomong. Besok akan ada keluarga teman Bapak yang mau melamarmu, jadi besok kamu harus langsung pulang setelah jam sekolah selesai.
“Tapi Pak, saya masih sekolah, masak mau dilamar.”
“Kamu bisa tunangan dulu dan setelah lulus dari kuliah, kamu
baru menikah dengannya!”
Bapak tidak mau mendengar alasan apapun dari Tari. Jika Bapak sudah bicara A, maka Tari harus mengikutinya. Tari tak tahu harus bagaimana, tak harus berbuat apa. Tari bingung! Tari harus bagaimana ya Allah ? Bunda mengetuk pintu kamar Tari dan setelah bunda masuk, mereka terlibat dalam pembicaraan.
Bapak tidak mau mendengar alasan apapun dari Tari. Jika Bapak sudah bicara A, maka Tari harus mengikutinya. Tari tak tahu harus bagaimana, tak harus berbuat apa. Tari bingung! Tari harus bagaimana ya Allah ? Bunda mengetuk pintu kamar Tari dan setelah bunda masuk, mereka terlibat dalam pembicaraan.
“Sabar ya anakku, Bunda selalu disini menemanimu.” Mereka
menangis berdua. Keesokan harinya Tari tak masuk sekolah karena untuk masuk, ia
terlalu capek. Capek menangis semalaman. Ini merupakan takdir atau hanya
kebetulan saja, Audra juga tak masuk. Entah apa alasannya. Di sebuah rumah di
jalan araya itu, ada perbincangan antar keluarga.
“Papa, Audra tak mau dijodohkan!”
“Nak, dia baik buat kamu! Terserah alasan kamu apa, yang penting sekarang kamu siap-siap untuk sore nanti!”
“Pa!!!”
“Papa, Audra tak mau dijodohkan!”
“Nak, dia baik buat kamu! Terserah alasan kamu apa, yang penting sekarang kamu siap-siap untuk sore nanti!”
“Pa!!!”
Jam di kamar Tari sudah menunjukkan pukul 15.00 dan sebentar
lagi ia akan dilamar. Bun! Aku nggak mau pake kebaya ini, ia melempar kebaya
berwarna putih jika dipakenya akan pas di badannya yang ramping itu. Bunda, aku
mau dengan perjodohan ini hanya karena agar Bunda tak disakiti Bapak! Tari
memperjelas alasannya kepada Bundanya. Mendadak sebuah sedan hijau masuk pelan
ke halaman rumah Tari dan berhenti tepat di depan teras. Bapak menyambut
keluarga itu. Namun ada yang aneh, anak laki-laki dari keluarga itu terlihat
murung dan malas sama seperti Tari. Selamat datang! Silahkan masuk. Bapak
mempersilahkan mereka masuk.
Dibantu dengan bunda, ia segera memakai sepatu highheels
warna putih mengkilat itu dengan buru-buru. Meskipun terpaksa, Tari akhirnya
keluar dan menemui keluarga pelamarnya.
Ketika Tari bertatap muka dengan anak laki-laki berjas hitam dengan kerah terbuka yang terlihat tampan saat itu, ia serasa mau pingsan di tempat. Apa kamu?kamu?? Tari terheran dengannya.
Ketika Tari bertatap muka dengan anak laki-laki berjas hitam dengan kerah terbuka yang terlihat tampan saat itu, ia serasa mau pingsan di tempat. Apa kamu?kamu?? Tari terheran dengannya.
“Ya benar, aku Audra!” Dia memang Audra, mantanku. Oh,
takdir macam apakah ini? Secara reflek, Tari langsung memeluk Audra dan ……………
“Tar,Aku sayang kamu!”
“Aku juga Dra, aku sayang kamu!”
“Aku juga Dra, aku sayang kamu!”
1.Tema:Percintaandantakdir
2. Amanat :
2. Amanat :
- Dalam menghadapi hal apapun harus bersikap dewasa dan berpikir panjang.
- Jangan melamun dan tak fokus sewaktu pelajaran
3.AlurCampura
4. Setting :
4. Setting :
·
Kamar tari pukul 17.15
·
Kelas sehabis jam istirahat sekolah
5. Penokohan/perwatakan :
- Tari : sabar, tabah, tertutup, kuat, taat beribadah, pelamun.
- Audra : tidak dewasa, perhatian, pemalu
- Yanti : medok, baik, perhatian, suka, melucu, setia kawan
- Bapak : keras kepala, pemaksa, egois, suka memukul, mudah emosi
- Bunda : sabar, penyayang, perhatian, lemah lembut, rela berkorban
- Bejo : Usil, medok, nakal
- Bu Tartik : Pemarah, tegas, killer
- Papa : Egois
6. Sudut pandang : Orang
ketiga
Comments
Post a Comment
komentarmu akan aku terima, terimakasih.