SISTEM KEPERCAYAAN dan KEDATANGAN DEUTRO DAN PROTO MELAYU KE INDONESIA
Selamat datang di blog aku.
Prasejarah. Sistem
kepercayaan masyarakat praaksara di Indonesia tidak terlepas dari kepercayaan
asli masyarakat Indonesia. Dalam kehidupan keagamaan di Indonesia, kepercayaan
asli merupakan bentuk kerohanian yang khas dimiliki oleh bangsa Indonesia. Oleh
karena itu, kepercayaan asli sering disebut dengan agama asli atau religi.
Kepercayaan
manusia tidak terbatas pada dirinya sendiri saja, akan tetapi pada benda-benda
dan tumbuh-tumbuhan yang berada di sekitarnya. Berdasarkan keyakinan tersebut,
manusia menyadari bahwa makhluk halus atau roh itu memiliki wujud nyata dan
sifat yang mendua, yaitu sifat yang membawa kebaikan dan sidat yang
mendatangkan keburukan.
Jika
diperhatikan, lukisan-lukisan yang terdapat di gua-gua tidak hanya mempunyai
nilai estetika, tetapi juga mengandung makna etika magis. Beberapa ahli
menyimpulkan bahwa cap-cap tangan dengan latar belakang cat merah memiliki arti
kekuatan atau perlindungan dari roh-roh jahat.
Seperti
terdapat pada beberapa lukisan di Papua mempunyai kaitan dengan upacara
penghormatan nenek moyang, meminta hujan dan kesuburan, serta memperingati
suatu peristiwa yang sangat penting. Adanya keyakinan-keyakinan itulah yang
kemudian mendorong berkembang beberapa kepercayaan di Indonesia, diantaranya animisme,
dinamisme dan totemisme.
Animisme
merupakan
kepercayaan terhadap roh-roh nenek moyang. Awal munculnya kepercayaan animisme
ini didasari oleh berbagai pengalaman dari masyarakat yang bersangkutan.
Misalnya pada daerah di sekitar tempat tinggal terdapat sebuah batu besar.
Masyarakat
yang melewati batu besar tersebut mendengar keganjilan seperti suara minta
tolong, memanggil namanya, dan lain-lain. Namun begitu dilihat mereka tidak
menemukan adanya orang atau apapun. Peristiwa tersebut kemudian terus
berkembang hingga masyarakat menjadi peracaya bahwa batu yang dimaksud
mempunyai roh atau jiwa.
Dinamisme
adalah suatu kepercayaan dengan keyakinan bahwa semua benda mempunyai kekuatan
gaib, misalnya gunung, batu, dan api. Bahkan benda-benda buatan manusia seperti
patung, tombak, jimat dan lain sebagainya.
Totemisme
merupakan keyakinan bahwa binatang tertentu merupakan nenek moyang suatu
masyarakat atau orang tertentu. Binatang yang dianggap nenek moyang antara
masyarakat yang satu dengan lainnya berbeda-beda. Biasanya binatang nenek
moyang tersebut disucikan, tidak boleh diburu dan dimakan, kecuali untuk
upacara tertentu.
Kepercayaan
animisme dan dinamisme menjadi kepercayaan asli bangsa Indonesia sebelum agama
Hindu dan Budha masuk ke Indonesia. Dalam kehidupan keagamaan di Indonesia,
kedua kepercayaan itu sudah berakar kuat. Salah satu aspek yang dapat dikaitkan
dengan kedua kepercayaan tersebut adalah berupa peninggalan-peninggalan zaman
megalitikum.
Menhir
atau arca, merupakan lambang dan tahta persemayaman roh leluhur. Kedua jenis
peninggalan itu digunakan sebagai sarana pemujaan terhadap roh nenek moyang.
Dolmen dan punden berundak berkaitan dengan aktivitas upacara, karena dolmen
digunakan sebagai tempat sesaji, sedangkan punden berundak digunakan untuk
tempat upacara.
Praktik-praktik
kepercayaan animisme dan dinamisme itu juga terlihat dalam penyelenggaraan
upacara-upacara yang berhubungan dengan kematian. Penyelenggaraan upacara
kematian dilandasi dengan kepercayaan bahwa kematian itu pada hakikatnya tidak
membawa perubahan dalam kedudukan, keadaan dan sifat seseorang. Dengan landasan
itu, penguburan mayat selalu disertai dengan bekal-bekal kubur dan arwah mayat
yang disesuaikan dengan kedudukannya ketika masih hidup.
Keyakinan
akan adanya dunia arwah terlihat dari arah penempatan kepala mayat yang
diarahkan ke tempat asal atau tempat bersemayam roh nenek moyang mereka. Tempat
yang biasanya diyakini sebagai tempat roh nenek moyang adalah tempat matahari
terbit atau terbenam, dan tempat-tempat yang tinggi, misalnya di gunung dan
bukit.
Bukti
mengenai hal ini terlihat dari hasil penggalian kuburan-kuburan kuno di
beberapa tempat di wilayah Indonesia, seperti Bali dan Kalimantan yang
menunjukkan arah kepala mayat selalu ke arah timur, barat atau ke puncak-puncak
gunung atau bukit.
KEDATANGAN DEUTRO DAN PROTO MELAYU KE INDONESIA
1.KEDATANGAN DEUTRO DAN PROTO MELAYU
Orang-orang Austronesia yang memasuki
wilayah Nusantara dan kemudian menetap di Nusantara tersebut mendapat sebutan
bangsa Melayu Austronesia atau bangsa Melayu Indonesia. Mereka yang masuk ke
daerah Aceh menjadi suku Aceh, yang masuk ke daerah Kalimantan disebut suku
Dayak, yang ke Jawa Barat disebut suku Sunda, yang masuk ke Sulawesi disebut
suku Bugis dan Tanah Toraja, dan mereka yang masuk ke daerah Jambi disebut suku
Kubu (Lubu).
Menurut Teori Antropologi, Bangsa
Melayu berasal dari percampuran dua bangsa, yaitu Proto Melayu dan Deutero
Melayu. Proto Melayu adalah ras Mongoloid, diperkirakan bermigrasi ke Nusantara
sekitar tahun 2500-1500 SM, kemungkinan mereka berasal dari daerah : Provinsi
Yunnan di selatan Cina, New Guinea atau Kepulauan Taiwan.
Sementara Bangsa Deutero Melayu
berasal dari dataran Asia Tengah dan Selatan, yang datang ke Nusantara pada
sekitar tahun 300 SM. Diperkirakan kedatangan Deutero Melayu membawa pengaruh
budaya India yang kuat dalam sejarah Nusantara dan Asia Tenggara.
2. Proto Melayu
Sebagaimana kita pahami bersama,
setelah terjadi Peristiwa Bencana Nabi Nuh pada sekitar tahun 11.000 SM (13.000
tahun yang lalu), semua peradaban di bumi hancur dan yang tinggal hanya
Keluarga Nabi Nuh beserta pengikutnya.
Sekelompok pengikut Nabi Nuh yang
selamat, kemudian membangun peradaban di kawasan Sundaland. Di kemudian hari,
di sekitar Sundaland menjadi sebuah Pusat Peradaban, yang dikenal sebagai
Peradaban Atlantis.
Pada sekitar tahun 9.600 SM, menurut
catatan Plato, Peradaban Atlantis ini hancur dilanda banjir. Penduduk Atlantis
berpencar ke seluruh penjuru bumi. Mereka kemudian menjadi leluhur
bangsa-bangsa di Asia Timur, seperti ras Mongoloid dan Altai (Sumber : Menyoal
Asal-usul Identitas Bangsa Melayu dan Patung Sphinx, Bukti Arkeologis Bencana
Nuh 13.000 tahun yang silam).
Setelah situasi di Nusantara dirasakan
cukup tenang, ada sekelompok kecil dari bangsa Atlantis yang mulai “pulang
kampung”. Dan pada puncaknya, mereka datang dalam jumlah besar, pada sekitar
tahun 2.500 SM – 1.500 SM. Mereka ini kemudian dikenal sebagai bangsa Proto
Melayu.
3. PENJELASAN LEBIH LAIN TENTANG PROTO
DAN DEUTRO MELAYU
a.
Melayu Tua (Proto Melayu)
Bangsa Melayu Tua ini memasuki wilayah
Indonesia sekitar tahun 1.500 hingga 500 SM. Mereka masuk melalui dua rute:
jalan barat dan jalan timur. Jalan barat adalah melalui Semenanjung Melayu
kemudian terus ke Sumatera dan selanjutnya menyebar ke seluruh Indonesia.
Sementara jalan timur adalah melalui Kepulauan Filipina terus ke Sulawesi dan
kemudian tersebar ke seluruh Indonesia. Para ahli memperkirakan bahwa bangsa
Melayu Tua ini peradabannya satu tingkat lebih tinggi dibandingkan dengan
manusia purba yang ada di Indonesia. Orang-orang Melayu Tua ini berkebudayaan
Batu Muda (Neolitikum). Benda-benda buatan mereka masih menggunakan batu namun
telah sangat halus. Kebudayaan kapak persegi dibawa bangsa Proto Melayu melalui
jalan barat, sedangkan kebudayaan kapak lonjong melalui jalan timur. Sebagian
dari mereka ada yang bercampur dengan ras kulit hitam.
Pada perkembangan selanjutnya, mereka
terdesak ke arah timur karena kedatangan bangsa Melayu Muda. Keturunan Proto
Melayu ini sampai kini masih berdiam di Indonesia bagian timur, seperti di
Dayak, Toraja, Mentawai, Nias, dan Papua. Sementara itu, bangsa kulit hitam
(Ras Negrito) yang tidak mau bercampur dengan bangsa Proto Melayu lalu
berpindah ke pedalaman atau pulau terpencil agar terhindar dari pertemuan
dengan suku atau bangsa lain yang mereka anggap sebagai “peganggu”. Keturunan
mereka hingga kini masih dapat dilihat meski populasinya sedikit, antara lain
orang Sakai di Siak, orang Kubu di Palembang, dan orang Semang di Malaka.
b. Melayu Muda (Deutro Melayu)
Bangsa Melayu Muda memasuki kawasan
Indonesia sekitar 500 SM secara bergelombang. Mereka masuk melalui jalur barat,
yaitu melalui daerah Semenanjung Melayu terus ke Sumatera dan tersebar ke
wilayah Indonesia yang lain. Kebudayaan mereka lebih maju daripada bangsa Proto
Melayu. Mereka telah pandai membuat benda-benda logam (perunggu). Kepandaian
ini lalu berkembang menjadi membuat besi. Kebudayaan Melayu Muda ini sering
disebut kebudayaan Dong Son. Nama Dong Son ini disesuaikan dengan nama daerah
di sekitar Teluk Tonkin (Vietnam) yang banyak ditemukan benda-benda peninggalan
dari logam. Daerah Dong Son ini ditafsir sebagai tempat asal bangsa Melayu Muda
sebelum pergi menuju Indonesia. Hasil-hasil kebudayaan perunggu yang ditemukan
di Indonesia di antaranya adalah kapak corong (kapak sepatu), nekara, dan
bejana perunggu.
Benda-benda logam ini umumnya terbuat
dari tuangan (cetakan). Keturunan bangsa Deutro Melayu ini selanjutnya
berkembang menjadi suku-suku tersendiri, misalnya Melayu, Jawa, Sunda, Bugis,
Minang, dan lain-lain. Kern menyimpulkan hasil penelitian bahasa yang tersebar
di Nusantara adalah serumpun karena berasal dari bahasa Austronesia Perbedaan
bahasa yang terjadi di daerah-daerah Nusantara seperti bahasa Jawa, Sunda,
Madura, Aceh, Batak, Minangkabau, dan lain-lainnya, merupakan akibat dari
keadaan alam Indonesia sendiri yang dipisahkan oleh laut dan selat.
Di samping dipisahkan oleh selat dan
samudera, perbedaan bahasa pun disebabkan karena setiap pulau di Indonesia
memiliki karakteristik alam yang berbeda-beda. Semula bahasa bangsa Deutro
Melayu ini sama, namun setelah menetap di tempat masing-masing mereka pun
mengembangkan bahasa tersendiri. Kosakata yang dulu dipakai dan masih diingat
tetap digunakan, sedangkan untuk menamai benda-benda yang baru dilihat di
tempat tinggal yang baru (Indonesia) mereka membuat kata-kata mereka sendiri.
Jadi, jangan heran, bila ada sejumlah kata yang terkadang sama bunyinya di
antara dua suku namun memiliki arti yang berbeda sama sekali, tak ada hubungan.
Ada pula kata yang memiliki arti yang masih berhubungan meski tak identik,
seperti kata “awak”. Kata awak bagi orang Minang berarti “saya”, sedangkan
menurut orang Sunda berarti “badan”.
Selanjutnya, bangsa Melayu Muda inilah
yang berhasil mengembangkan peradaban dan kebudayaan yang lebih maju daripada
bangsa Proto Melayu dan bangsa Negrito yang menjadi penduduk di pedalaman.
Hingga sekarang keturunan bangsa Proto Melayu dan Negrito masih bermasyarakat
secara sederhana, mengikuti pola moyang mereka, dan kurang bersentuhan dengan
budaya luar seperti India, Islam, dan Eropa. Sedangkan bangsa Deutero Melayu
mampu berasimilasi dengan kebudayaan Hindu- Budha, Islam, dan Barat.
Comments
Post a Comment
komentarmu akan aku terima, terimakasih.